Selasa, 14 Juni 2011

"Hari itu,,,"


            Ketika angin telah kian bersemilir, membawakan puing-puing kejadiaan saat itu, melihat beberapa onggok mayat-mayat yang berserakan, seakan ingin menantang maut. Langit biru perlahan-lahan kelam, sekelam hati ku saat ini. Di sudut jendela, ku terduduk menyaksikan fatamorgana itu ditemani dengan kegelapan senja. Titik-titik hujan jatuh ke bumi yang gersang hari itu, membasahi tanah kering yang tak mampu basah, di sisi lain terlihat bercak kemerahan berserakan.
            “Ibu, ibu” teriak seorang anak yang tengah berlari kian kemari.
            Aku yang mendengarkan jeritan gadis yang memilukan itu mulai beranjak dari tempat persembunyian, ku mulai menyingsingkan mataku saat akan berkontraksi dengan cahaya, kepalaku terasa berputar. Samar-samar mataku menangkap sesosok gadis kecil berpakaian sangat kumuh menangis, sembari membawa boneka tanpa kepala ia melihatku yang asing ini. Ku mulai merangkak mendekatinya, terlihat badannya bergetar ketakutan, ku mencoba tersenyum kepadanya agar ia tidak takut padaku.
            “Gadis manis, kemarilah” ujarku seraya meraih tangannya.
            Gadis kecil itu mendekat, di ayunkan langkah kecilnya satu persatu.
            “Kamu mencari siapa manis?” tanyaku di saat gadis itu tepat di depanku.
            “Ibu” ujarnya gemetaran.
            “Ibu” ulangku dan gadis itu hanya mengangguk “Betapa kasihannya dirimu, ditinggalkan oleh ibu mu karna bangsa-bangsa bejat yang tidak tahu diri itu.”
            Gadis itu hanya menatapku, tak mengerti apa yang barusan kukatakan, yang ingin ia dengar saat ini hanya dimanakah keberadaan ibunya. Aku tak kuasa melawan tatapan gadis itu, aku tertunduk, aku rapuh. Tanpa kusadari, gadis kecil berpakaian kumuh itu mulai memelukku, menyentuh kedua pipiku hingga terasa olehku jemari-jemari kecilnya.
            “Kak” panggilnya.
            Aku pun menengadahkan kepalaku, kulihat sebuah senyuman tulus dan ikhlas dari bibir kecil gadis itu, kini aku tak melihat lagi seorang gadis kecil berpakaian kumuh, namun kini ku melihat seseorang bidadari kecil dengan sayap-sayap putih yang berkilauan tepat tengah berdiri dihadapanku, apa aku tengah bermimpi? Lirih batinku.
            “Engkau tidak apa-apa kak? Kuperhatikan sendari tadi, wajahmu pucat, ku sentuh tanganmu, sangat dingin mengalahkan dinginnya es dari kutub selatan”
            “Apa kau mengkhawatirkanku gadis kecil?” tanyaku, gadis itu hanya mengangguk “Aku tidak apa-apa, aku hanya merasakan sedikit kesakitan”
            Sembari berusaha berdiri aku berkata lagi, “Ayo kita mencari ibumu”
            Gadis kecil itu hanya mengangguk dan mulai mengapit tangannya ke tanganku. Kami berdua pun mulai berjalan mengikuti sinaran senja yang akan menghilang. Jalan kami sangat lambat, kuberjalan terseok-seok menyeret kaki yang tengah sakit, berusaha sekuat tenaga ‘tuk dapat pergi jauh dari tempat itu, berharap menemukan suatu tempat yang lebih aman dari tempat yang kusinggahi sebelumnya.
            Tetes-tetes air membasahi seluruh badan kami berdua, angin bersepoi menambah kehampaan jiwa, menyelimuti hati-hati yang sedang kaku tak kuasa menghadapi realistis sebenarnya yang tengah terjadi. KUlirik gadis kecil tepat disebelahku, tangisannya yang menyayat sanubari kini telah berakhir, ia sangat tenang saat berjalan bersamaku, matanya melirik ketengah puluhan mayat yang berserakan, mungkin didalam hatinya ia berharap menemukan ibunya diantara puluhan daging-daging pucat yang berserakan itu.
            “Siapa namamu” ujarku membuyarkan konsentrasinya.
            “Hah, siapa?! Aku maksud kakak?” aku mengangguk.
            “Senja”
            Aku tersenyum, “Nama yang bagus”
            “Ya, ibu yang memberikan nama itu disaat aku lahir pada senja hari”
            Hening, hanya sesaat pembicaraan itu terjadi, keheningan mulai hadir diantara kami berdua, lama sudah kami berjalan, sakitnya kaki ku semakin menjadi, serasa akan lepas kaki ini. Tiba-tiba Senja berhenti, terdiam, aku yang melihatnya hanya keheranan. Samar-samar kumendengar isak tangis tertahan, kulirik Senja, badannya bergetar semakin lama semakin kencang, terlihat dihadapannya sesosok gadis tua terbujur tak berdaya, darah-darah segar masih bercucuran disisi-sisi tubuh gadis tua itu, tampaknya ia baru saja dibunuh oleh sekelompok bejat yang tak punya hati nurani.
            Sangat memilukan, wajahnya hancur sebagian, jari-jari tangannya berserakan di dekat badannya, rambutnya habis terbakar, isi perut gadis tua itu berserakan, buyar kemana-mana hingga aku tak bisa memilah bagian isi perutnya. Perutku merasa mual saat melihatnya, sementara Senja, ia terduduk dan tak bisa berkata apa-apa.
            Perlahan-lahan, diusapnya rambut gadis tua yang terbakar, dielusnya pipi-pipi kering setengah hancur itu, diciumnya tangan tanpa jemari-jemari itu, diambilnya satu persatu jemari yang tengah berserakan, pedih hatiku saat melihat hal itu. Diam, Senja kembali terdiam, waktu terus berputar. Dari kejauhan terdengar langkah kaki berat sekelompok bejat itu, hatiku semakin ketakutan, kutarik pergelangan tangan Senja untuk segera lari tapi, Senja tetap tak bergeming bak patung kokoh dirinya.
            Aku semakin panik, ingin ku pergi meninggalkan Senja seorang diri disana, namun aku tak kuasa, aku tak tega melihat dia sendiri disana, sampai akhirnya hal yang tak ku inginkan terjadi, sekelompok bejat itu kini tengah berdiri tepat di hadapan kami. Air mataku seakan-akan ingin keluar, keringat dingin ku kini telah berbaur bersama air hujan yang masih menetes, aku terduduk.
            “Hai kalian seonggok manusia tak berguna” hina seorang pemimpin bejat itu.
            “....”
            Namun, Senja tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun, bulir-bulir air matanya masih mengalir, tak henti-hentinya. Hinaan kian menjadi-jadi membuat kuping yang mendengarnya panas, sungguh aku tak kuat berada di sana saat itu, ku melihat Senja masih tetap tak bergeming, duduk dengan tenang dan beruraian air mata, sampai akhirnya terdengar sebuah jeritan menghentikan tawaan dan hinaan mereka.
            “Kalian manusia bejat, kembalikan ibuku” jerit Senja.
            “Apa kamu bilang hei bocah kecil? Kembalikan ibu mu?? Hahhaha,, untuk apa? kamu dan ibumu itu sama saja, sama-sama manusia tidak berguna”
            “Tidak, ibuku adalah seorang manusia yang cerdas yang punya hati nurani, tidak seperti kalian bedebah dan bejat. Akan aku bunuh kalian, agar dendam ibuku terbalaskan”
            “Hei bocah tengik, sombong sekali gayamu itu, dengan apa kau ingin membunuhku?” tantang salah satu dari sekelompok bejat itu.
            Senja diam, perlahan ditengadahkan kepalanya, aku merasakan Senja mengeluarkan sebuah benda bulat hitam, tanpa disadari mereka Senja tersenyum dan mulai melemparkan sebuah granat yang entah darimana ia temukan. Dan dalam hitungan detik pun, sebuah granat itu jatuh tepat diantara mereka.
            “Awas granat” ujar mereka kepanikan.
            Ketika sekelompok bejat itu mulai ingin berlari menjauhi granat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan besar yang sangat menakutkan, bagaikan gunung merapi yang sedang mengeluarkan lavanya, mengamuk dan mereka semua menghilang saat ledakan itu berakhir. Ku tatap Senja, senyumannya semakin lebar, aku takut menatapnya terlalu lama, kini aku melihat Senja bukan sebagai gadis kecil berpakaian kumuh, ataupun seorang bidadari kecil, melainkan seorang monster yang sungguh-sungguh menakutkan seakan ingin menelan seluruh apa yang ada di hadapannya.
            “Kak, kita berhasil” ujarnya “Terima kasih telah mau membantuku mencari ibuku, kini aku akan bahagia bersama ibuku saja.”
            Aku menyerngitkan keningku dan mengartikan makna dari ucapan Senja tadi. Tapi, susah aku memahaminya sampai aku melihat suatu kejadian yang membuatku tak bisa bernafas, sebuah pelor kuning tertancap mantap dipelipis Senja. Ya, Senja menembak sendiri kepalanya.
            Aku terjatuh terbaring diatas merahnya tanah melihat semuanya, hari itu seluruh bumi, angin yang bersepoi, langit malam yang kelam, halilintar yang menyambar, dan bintang-bintang yang bersinar redup menjadi saksi bisu kejadian yang menyayatkan hati, tidak berprikemanusiaan  dan membuat sang ibu pertiwi menangis di dalam kegulitaan sang malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar