Ketika angin telah kian bersemilir,
membawakan puing-puing kejadiaan saat itu, melihat beberapa onggok mayat-mayat
yang berserakan, seakan ingin menantang maut. Langit biru perlahan-lahan kelam,
sekelam hati ku saat ini. Di sudut jendela, ku terduduk menyaksikan fatamorgana
itu ditemani dengan kegelapan senja. Titik-titik hujan jatuh ke bumi yang
gersang hari itu, membasahi tanah kering yang tak mampu basah, di sisi lain
terlihat bercak kemerahan berserakan.
“Ibu, ibu” teriak seorang anak yang
tengah berlari kian kemari.
Aku yang mendengarkan jeritan gadis
yang memilukan itu mulai beranjak dari tempat persembunyian, ku mulai
menyingsingkan mataku saat akan berkontraksi dengan cahaya, kepalaku terasa berputar.
Samar-samar mataku menangkap sesosok gadis kecil berpakaian sangat kumuh
menangis, sembari membawa boneka tanpa kepala ia melihatku yang asing ini. Ku mulai
merangkak mendekatinya, terlihat badannya bergetar ketakutan, ku mencoba
tersenyum kepadanya agar ia tidak takut padaku.
“Gadis manis, kemarilah” ujarku
seraya meraih tangannya.
Gadis kecil itu mendekat, di ayunkan
langkah kecilnya satu persatu.
“Kamu mencari siapa manis?” tanyaku
di saat gadis itu tepat di depanku.
“Ibu” ujarnya gemetaran.
“Ibu” ulangku dan gadis itu hanya
mengangguk “Betapa kasihannya dirimu, ditinggalkan oleh ibu mu karna
bangsa-bangsa bejat yang tidak tahu diri itu.”
Gadis itu hanya menatapku, tak
mengerti apa yang barusan kukatakan, yang ingin ia dengar saat ini hanya
dimanakah keberadaan ibunya. Aku tak kuasa melawan tatapan gadis itu, aku
tertunduk, aku rapuh. Tanpa kusadari, gadis kecil berpakaian kumuh itu mulai
memelukku, menyentuh kedua pipiku hingga terasa olehku jemari-jemari kecilnya.
“Kak” panggilnya.
Aku pun menengadahkan kepalaku,
kulihat sebuah senyuman tulus dan ikhlas dari bibir kecil gadis itu, kini aku
tak melihat lagi seorang gadis kecil berpakaian kumuh, namun kini ku melihat seseorang
bidadari kecil dengan sayap-sayap putih yang berkilauan tepat tengah berdiri
dihadapanku, apa aku tengah bermimpi? Lirih batinku.
“Engkau tidak apa-apa kak? Kuperhatikan
sendari tadi, wajahmu pucat, ku sentuh tanganmu, sangat dingin mengalahkan
dinginnya es dari kutub selatan”
“Apa kau mengkhawatirkanku gadis
kecil?” tanyaku, gadis itu hanya mengangguk “Aku tidak apa-apa, aku hanya
merasakan sedikit kesakitan”
Sembari berusaha berdiri aku berkata
lagi, “Ayo kita mencari ibumu”
Gadis kecil itu hanya mengangguk dan
mulai mengapit tangannya ke tanganku. Kami berdua pun mulai berjalan mengikuti
sinaran senja yang akan menghilang. Jalan kami sangat lambat, kuberjalan
terseok-seok menyeret kaki yang tengah sakit, berusaha sekuat tenaga ‘tuk dapat
pergi jauh dari tempat itu, berharap menemukan suatu tempat yang lebih aman
dari tempat yang kusinggahi sebelumnya.
Tetes-tetes air membasahi seluruh
badan kami berdua, angin bersepoi menambah kehampaan jiwa, menyelimuti
hati-hati yang sedang kaku tak kuasa menghadapi realistis sebenarnya yang
tengah terjadi. KUlirik gadis kecil tepat disebelahku, tangisannya yang
menyayat sanubari kini telah berakhir, ia sangat tenang saat berjalan
bersamaku, matanya melirik ketengah puluhan mayat yang berserakan, mungkin
didalam hatinya ia berharap menemukan ibunya diantara puluhan daging-daging
pucat yang berserakan itu.
“Siapa namamu” ujarku membuyarkan
konsentrasinya.
“Hah, siapa?! Aku maksud kakak?” aku
mengangguk.
“Senja”
Aku tersenyum, “Nama yang bagus”
“Ya, ibu yang memberikan nama itu
disaat aku lahir pada senja hari”
Hening, hanya sesaat pembicaraan itu
terjadi, keheningan mulai hadir diantara kami berdua, lama sudah kami berjalan,
sakitnya kaki ku semakin menjadi, serasa akan lepas kaki ini. Tiba-tiba Senja
berhenti, terdiam, aku yang melihatnya hanya keheranan. Samar-samar kumendengar
isak tangis tertahan, kulirik Senja, badannya bergetar semakin lama semakin
kencang, terlihat dihadapannya sesosok gadis tua terbujur tak berdaya,
darah-darah segar masih bercucuran disisi-sisi tubuh gadis tua itu, tampaknya
ia baru saja dibunuh oleh sekelompok bejat yang tak punya hati nurani.
Sangat memilukan, wajahnya hancur
sebagian, jari-jari tangannya berserakan di dekat badannya, rambutnya habis
terbakar, isi perut gadis tua itu berserakan, buyar kemana-mana hingga aku tak
bisa memilah bagian isi perutnya. Perutku merasa mual saat melihatnya,
sementara Senja, ia terduduk dan tak bisa berkata apa-apa.
Perlahan-lahan, diusapnya rambut
gadis tua yang terbakar, dielusnya pipi-pipi kering setengah hancur itu,
diciumnya tangan tanpa jemari-jemari itu, diambilnya satu persatu jemari yang
tengah berserakan, pedih hatiku saat melihat hal itu. Diam, Senja kembali
terdiam, waktu terus berputar. Dari kejauhan terdengar langkah kaki berat
sekelompok bejat itu, hatiku semakin ketakutan, kutarik pergelangan tangan
Senja untuk segera lari tapi, Senja tetap tak bergeming bak patung kokoh
dirinya.
Aku semakin panik, ingin ku pergi
meninggalkan Senja seorang diri disana, namun aku tak kuasa, aku tak tega
melihat dia sendiri disana, sampai akhirnya hal yang tak ku inginkan terjadi,
sekelompok bejat itu kini tengah berdiri tepat di hadapan kami. Air mataku
seakan-akan ingin keluar, keringat dingin ku kini telah berbaur bersama air
hujan yang masih menetes, aku terduduk.
“Hai kalian seonggok manusia tak
berguna” hina seorang pemimpin bejat itu.
“....”
Namun, Senja tetap tak mengeluarkan
sepatah kata pun, bulir-bulir air matanya masih mengalir, tak henti-hentinya.
Hinaan kian menjadi-jadi membuat kuping yang mendengarnya panas, sungguh aku
tak kuat berada di sana saat itu, ku melihat Senja masih tetap tak bergeming,
duduk dengan tenang dan beruraian air mata, sampai akhirnya terdengar sebuah
jeritan menghentikan tawaan dan hinaan mereka.
“Kalian manusia bejat, kembalikan
ibuku” jerit Senja.
“Apa kamu bilang hei bocah kecil? Kembalikan
ibu mu?? Hahhaha,, untuk apa? kamu dan ibumu itu sama saja, sama-sama manusia tidak
berguna”
“Tidak, ibuku adalah seorang manusia
yang cerdas yang punya hati nurani, tidak seperti kalian bedebah dan bejat. Akan
aku bunuh kalian, agar dendam ibuku terbalaskan”
“Hei bocah tengik, sombong sekali
gayamu itu, dengan apa kau ingin membunuhku?” tantang salah satu dari
sekelompok bejat itu.
Senja diam, perlahan ditengadahkan
kepalanya, aku merasakan Senja mengeluarkan sebuah benda bulat hitam, tanpa
disadari mereka Senja tersenyum dan mulai melemparkan sebuah granat yang entah
darimana ia temukan. Dan dalam hitungan detik pun, sebuah granat itu jatuh
tepat diantara mereka.
“Awas granat” ujar mereka kepanikan.
Ketika sekelompok bejat itu mulai
ingin berlari menjauhi granat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan besar yang
sangat menakutkan, bagaikan gunung merapi yang sedang mengeluarkan lavanya,
mengamuk dan mereka semua menghilang saat ledakan itu berakhir. Ku tatap Senja,
senyumannya semakin lebar, aku takut menatapnya terlalu lama, kini aku melihat
Senja bukan sebagai gadis kecil berpakaian kumuh, ataupun seorang bidadari
kecil, melainkan seorang monster yang sungguh-sungguh menakutkan seakan ingin
menelan seluruh apa yang ada di hadapannya.
“Kak, kita berhasil” ujarnya “Terima
kasih telah mau membantuku mencari ibuku, kini aku akan bahagia bersama ibuku
saja.”
Aku menyerngitkan keningku dan
mengartikan makna dari ucapan Senja tadi. Tapi, susah aku memahaminya sampai
aku melihat suatu kejadian yang membuatku tak bisa bernafas, sebuah pelor
kuning tertancap mantap dipelipis Senja. Ya, Senja menembak sendiri kepalanya.
Aku terjatuh terbaring diatas
merahnya tanah melihat semuanya, hari itu seluruh bumi, angin yang bersepoi,
langit malam yang kelam, halilintar yang menyambar, dan bintang-bintang yang
bersinar redup menjadi saksi bisu kejadian yang menyayatkan hati, tidak
berprikemanusiaan dan membuat sang ibu
pertiwi menangis di dalam kegulitaan sang malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar