Rerintikan
hujan perlahan merembes di sela-sela batu nisan yang tertancap di atas sebuah
gundukan tanah merah kering yang mulai membasah. Sebuah goresan nama “Teguh”
masih terukir dengan jelas di atas batu nisan yang telah usang, seorang gadis
berpayungkan hitam menangis di sampingnya, lilin-lilin merah mulai meleleh di
atas kue tart yang telah ia buat, sembari senyum tertahan, gadis itu mulai
meniup lilin-lilin yang sedang berpijar di tengah riuh angin yang bersemilir.
“selamat hari jadi kita yang ke dua
setengah tahun sayang” ucap Ririn, gadis yang tengah menangis itu.
Ririn terdiam, sunyi, hening pagi
itu. setengah tahun berlalu begitu saja, bagi Ririn semua yang telah ia lewati
begitu hampa, tiada canda tawa, tiada senyuman manis dari kekasihnya. Sembari
menghela nafas panjang, Ririn menutup kedua matanya membiarkan angin menyentuh
pipinya, dedaunan berterbangan di sisi ia berada, ‘tuk kesekian kalinya
bulir-bulir air mata Ririn kembali menetes, kini Ririn serasa tengah berada di
setengah tahun yang lalu.
***
Sembari termenung, Ririn menatap
kosong layar notebook miliknya, pikiran Ririn kini melayang jauh, buku-buku
berserakan tepat di sebelah ia berada, laporan kuliah yang ingin ia selesaikan
kini terbengkalai, perlahan-lahan Ririn mulai mengetik serangkaian demi
serangkaian kata yang beradu padu, membuat hatinya semakin merasakan rindu.
dulu kau hadir di
setiap waktu, saat Ririn tersenyum, saat menangis, tangan mu yg selalu
mengusapkan air mata Rin,setiap langkah Rin, selalu ada suport dari mu, jika
Ririn salah , teguran mu yg lembut akan menyadarkan Rin, meski Rin keras
kepala, saat Rin ingin ini, ingin itu, dgn sigap kau mencrinya untuk Rin, saat
Rin merasa bosan, kau datang membawa cerita yang indah, bahkan setiap hari, kau
habiskan wktu bersama Rin, kau selalu trsenyum pada stiap orang, senyum mu lah
yg membuad Rin nyaman, dan tenang,kau yg selalu memberikan Rin perhatian,
mengingatkan Rin makan dan istrhat, dan marah saat Rin sakiit, karena Rin tag
mendengarnya.. Perhtianmu tag perna pudar, bahkan saat kau sakit lemah pun
sempat".y, mengingatkan Rin ^jgn kcapek.an sygs^ :') mksi sygs.. Rin rindu
semua itu, saat Rin nangis melhat k.adaan mu skrg, kau cma blg ^jgn nangis
syang !^, bersemangaaadlah untuk kshatan mu, brtahanlah untuk Mama dan Papa yg
selalu ada untukmu syangs, semua merindukan muu Teguh :')
Tiba-tiba,
ringtone “semua tentang kita_peterpan” berdering membuyarkan semua lamunan
Ririn, terlihat di layar handphone Ririn sebuah messages dari kekasihnya,
dengan segera Ririn tersenyum dan membuka sebuah pesan itu.
Pengirim :
“ayaah caiiank”
Date :
24 april 2011 10.23
Yyaaannk,,, J
Terkirim :”ayaah
caiiank”
Date :
24 april 2011 10.25
.iya saiangt qu,, J J
,,kngen hah yaank..!!
Pengirim :
“ayaah caiiank”
Date :
24 april 2011 10.28
Iya, kngen jga ayaah sma bunda,,
Sakit banget ayaah bun,,!!
Gak kuat lgi rsanya,,,,
Bun kpan jenguk ayaah,,??? L L
Terkirim :”ayaah
caiiank”
Date :
24 april 2011 10.30
,.hikz,, iya saiangt,,,
,,ish lah, gak boleh ngmng gtu yaah,,
..ayaah psti bsa ngelwatinnya, berthan ya yaank,,!!
,,bunda kan sllu do’akn ayaah,,
..hm,, jnji deh bsok bunda jenguk ayah, skrg ayah istrahat
y,,!!
,,jgn kcpekan,, okey,,??
,,Luph u saiiangt
Pengirim :
“ayaah caiiank”
Date :
24 april 2011 10.33
Iya deh bun caiiank,,
Bund jga jgn kecapek’an ya,,,
Ayaah istrahat dlu,,
Luph u too yaank,,,!!!!!
Ririn kembali meletakkan
handphonenya di kasur dan mematikan notebook yang sedari tadi hidup, raut
wajahnya yang mendung kini telah berubah menjadi secerah sang mentari bersinar,
senyuman tak ia lepaskan dari bibir manisnya itu. Bergegas ia pejamkan matanya dan berharap esok kan datang secepat
mungkin.
Malam telah berganti pagi, mentari
bersinar dengan cerahnya, secerah suasana hati Ririn saat ini, burung-burung
berkicau dengan merdunya menambahkan suasana hati Ririn yang kian bersemangat.
“Mbak”
panggil Rifva, teman se-kost Ririn.
“Eh Rifva, ada apa ya?”
“Mbak mau kemana? Kok pagi-pagi udah
rapi aja”
Sembari tersenyum bahagia, “Iya neh
Va, mbak mau ke Bandung jenguk Teguh”
“Oh bang Teguh, masih sakit ya mbak?
Ya udah, hati-hati di jalan mbak, salam buat abang ipar tersayang ya” Canda
Rifva, Ririn hanya tersenyum lepas.
“Pergi dulu ya Va, assalamualaikum”
Ujar Ririn sembari membaca Basmalah dan mulai mengayunkan kakinya menuju ke
tempat yang telah ia nanti-nantikan.
Tak terasa tiga jam telah berlalu,
Ririn pun sampai di rumah sakit Medistra, dengan hati yang berdebar-debar ingin
segera bertemu, Ririn melangkahkan kakinya ke ruangan 111. Tepat di depan pintu
ruangan kini Ririn berdiri, di bukanya perlahan pintu kamar itu terlihat
olehnya sesosok wajah yang sangat ia rindukan tengah tersenyum kepadanya, air
mata Ririn mulai meleleh dan tak dapat di bendung lagi.
“Masuk nak” Ujar Mama Teguh
“Iya ma” Ujar Ririn sembari masuk
dan duduk di sisi Teguh.
“Sayang, makasih ya udah
sempat-sempat menjenguk, Teguh rindu banget sama Rin” Ujar Teguh tersenyum.
Dengan sigap Ririn meraih genggaman
tangan Teguh dan berkata, “Iya sayang, Rin juga udah rindu banget dengan Teguh”
“Bun, udah dua kali nyawa ayah
hampir pergi, do’akan ayah ya bun” Bisik Teguh yang membuat hati Ririn miris.
“Huussh, ayah ini bicara apa sih?
Percaya lah, ayah pasti bisa bertahan ‘tuk orang-orang yang sayang dengan ayah”
Ucap Ririn menambahkan semangat Teguh “Udah makan yah?”
“Belum bun, ayah maunya di suapin
sama kekasih tercinta ayah”
“Duh, mulai deh manjanya keluar. Ya
deh Rin suapin ya” Teguh hanya mengangguk.
Ririn beranjak dari tempat duduknya
dan pergi mengambilkan bubur yang telah disediakan, dengan kasih sayang Ririn
mulai menyuapi Teguh sesendok demi sesendok bak seorang ibu yang menyuapi
anaknya.
“ayo, buka mulutnya, aaaaaa...mmm”
Iseng Ririn menyuapkan bubur itu ke mulutnya sendiri.
Teguh
yang sudah membuka mulut dan menunggu suapan Ririn hanya tersenyum kecut,
melihat raut wajah Teguh yang lucu Ririn pun tertawa lepas, berangsur-angsur
Teguh ikut tertawa bersama Ririn, terlukis jelas nada kebahagiaan di wajah
sepasang insan itu. Tanpa di sadari waktukan cepat berputar memisahkan mereka.
“Love
you bunda Ririn, ayah selalu sayang dan cinta dengan bunda” Teguh tersenyum
tulus.
“Iya
ayah Teguh, Rin juga sayang dan cinta ayah, jangan pernah tinggalkan bunda ya
yah”
Detik demi detik waktu telah
berputar, mengukir kenangan indah yang tak terlupakan, Ririn mulai membelai
lembut rambut Teguh, hingga akhirnya Teguh tertidur di dalam belaian Ririn.
Perlahan-lahan Ririn beranjak dan pergi meninggalkan Teguh yang tengah tertidur
pulas, di langkahkan kakinya ke tempat Mama Teguh yang kini sedang duduk
termenung.
“Ma,” sapa Ririn
Sembari menghapus air matanya, “Iya
Rin”
“Udah ma, jangan menangis lagi,
Teguh pasti bisa sembuh, percaya aja” Ririn memeluk Mama Teguh.
“Iya Rin, mama percaya, tapi setiap
melihat Teguh, mama gak kuat menahan perasaan sedih ini”
“Tenang aja ma, Ririn pasti akan
selalu merawat dan menjaga Teguh”
Tiba-tiba handphone Ririn berbunyi,
dengan segera diangkatnya telepon dari Sari, Ririn mulai berbicara dengan nada
khas lembut suaranya, awal-awalnya ia biasa saja, namun perlahan-lahan mimik
wajahnya berubah menjadi muram, ia hanya dapat terdiam sampai akhirnya
pembicaraan mereka berakhir. Mama Teguh yang melihat perubahan Ririn hanya
bertanya sembari terheran ada apa sebenarnya yang telah terjadi.
“Ma, maaf ya. Rin harus kembali ke
Jakarta, besok Ririn ada ujian mendadak ma. Tapi, bagaimana dengan Teguh ma?”
Lirih Ririn “Bagaimana jika Teguh bangun Rin udah gak ada di dekatnya? Pasti
Teguh sedih dan kecewa ma”
“Ririn, gak apa-apa kalau Ririn mau
pulang sekarang, Teguh pasti ngerti kok, ntar mama jelasin semuanya ke Teguh”
Ujar mama Teguh tersenyum.
“Tapi ma,,”
“Udah, gak apa-apa, Teguh pasti
marah besar kalau Ririn gak ikut ujian besok”
Ririn hanya terdiam, bimbang.
Hatinya kini tengah bercabang antara meninggalkan kekasihnya atau menemani dan
ikut berjuang bersama kekasihnya menghadapi kesakitan. Lama ia berpikir,
akhirnya ia pun terpaksa meninggalkan Teguh dan pulang ke Jakarta.
Sebelum pergi, Ririn membelai
kembali rambut Teguh, dielusnya pipi Teguh, dan sebuah kecupan mendarat di
kening Teguh, dengan air mata yang seakan ingin kembali terjun Ririn berjalan
keluar kamar dan pergi meninggalkan Teguh, berharap bisa segera kembali dan
menemani kekasihnya, walau tak ada satu pun yang mengira harapan itu kan sirna.
****
Sore itu, cahaya senja menyinari
ruangan yang kelabu, kegelapan menyelimuti ruangan yang hampa itu, tiada satu
pun yang tahu, ruangan itu telah menjadi saksi bisu. Isak-isak tangis tak
tertahan perlahan-lahan terdengar begitu jelas, membawa ironi yang mendalam
bagi setiap yang mendengar, menyayat, memilukan hati.
Dari kejauhan samar-samar terdengar
suara hentakan langkah kaki yang tengah berpacu, semakin lama semakin jelas hentakan
itu bagaikan melodi-melodi yang tengah menari di atas partitur.
“Tegguuhh”
Sebuah jeritan membuyarkan
keheningan sore itu, seorang gadis berlari mendekati sebuah kasur tempat
terakhir ia membelai rambut kekasihnya, gadis itu berteriak, memanggil nama
kekasihnya berkali-kali, berharap kekasihnya mendengar dan terbangun, berharap
semuanya itu hanya lelucon-lelucon jenaka yang tengah dimainkan kekasihnya itu,
namun tubuh itu masih saja tetap terdiam seribu bahasa, tak tergubriskan
sedikit pun, tubuh itu semakin pucat dan dingin. Semua usaha Ririn hanya
membuahkan kesia-siaan belaka.
“Ririn” Hibur mama Teguh, “Jangan
menangis lagi, ikhlaskan Teguh, do’akan semoga dia bahagia dan tenang disana”
Dengan mata yang sembab Ririn
menatap mama Teguh, “Tapi ma, kenapa Teguh harus pergi disaat Ririn tidak ada
didekatnya. Betapa bodohnya Ririn kemarin, kenapa Ririn begitu saja
meninggalkan Teguh, sementara ia harus berjuang seorang diri melawan
penyakitnya, seorang diri menghadapi saat-saat sakaratul mautnya menjemput,
coba saja, coba saja kemarin Ririn tetap berada disini, mungkin Teguh masih ada
tersenyum ‘tuk Ririn, ‘tuk kita semua” sesal Ririn.
“Husst,, jangan berkata begitu Rin,
ini telah suratan dia, Allah menjemputnya setelah berbulan-bulan ia harus
menahan penyakit itu, biarkanlah dia tenang sekarang, dia pasti bahagia disana,
lihatlah Teguh tersenyum disaat detik-detik terakhir ia berada di sisi kita,
senyumannya mengukir sebuah harapan ‘tuk kita agar jangan bersedih. Lihatlah,
lihatlah Rin”
Ririn pun melihat kembali seonggok
daging yang tak berdaya itu, walaupun dingin dan pucat Ririn merasa ada sebuah
senyuman ikhlas yang terukir disana, sebuah kebahagiaan baru yang tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata, Ririn kini mengerti walaupun hatinya tetap tidak
mau mengerti.
Untuk terakhir kalinya Ririn memeluk Teguh,
membelai rambutnya, dan mengecup keningnya. Semilir angin kini bertiup riuh,
tanpa sadar Ririn merasakan sebuah pelukan hangat seseorang yang ia sayangi,
pelukannya hangat dan lama, seakan-akan tak ingin lepas dari pelukan itu. Air
mata Ririn masih tetap mengalir, dan terus mengalir tiada henti, hanya satu
yang bisa ia ucapkan, “selamat jalan kasih”